Teori evolusi Darwin memperlihatkan proses perubahan bentuk manusia dari bentuk kera menjadi manusia (purba) dengan kecerdasan yang meningkat pula. Tanpa ingin mengulas tentang perdebatan teori tersebut (soalnya sempet ketiduran waktu dapat pelajaran evolusi, paling-paling juga ngga jauh beda sama filmnya Planet of the Ape's), hal yang lebih fundamental (keluar deh bahasa Ppkn, kita liat bahasa apa lagi nanti yang keluar..?) adalah proses menuju kesempurnaan itu.
Di dunia yang kita injak dari tanpa alas kaki, sandal jepit murah merk Sualo (merk bajakannya Swalow), sampai mengenal yang namanya Sepatu Sport Niki Nike Lho (yang ini parah bajakannya, maksa banget!) semuanya serba proses. Awal lahir kita mengenal orang tua dengan proses, bisa manggil “ma ma!” juga proses, pokoknya apa yang ada dalam diri kita saat ini semuanya adalah proses dan masih akan berjalan sampai tak terbatas (karena saat kita The End pun masih ada proses meski di kehidupan yang berbeda, loh!)
Berbicara tentang proses, saya pun merenung (hal yang biasa saya lakukan saat suasana mendung, sepi, sunyi, sendiri, cuma ditemani radio RRI)............ (loading..., masih merenung.....). Pertanyaan pun muncul,”apakah proses kehidupan saya sampai hari ini, merupakan proses dari ketidaktahuan saya terhadap sesuatu menjadi saya lebih paham mengenai banyak hal dan menjadikan saya lebih baik, atau apakah pengalaman-pengalaman saya selama ini malah menjadikan saya pendosa???”
Saya lalu mengumpamakan kehidupan ideal itu seperti Pohon yang ditanam di pekarangan (“Tree” in english, “Uwit” ing jawi, “Ohon” waktu kita belajar ngomong). Kenapa pohon? Mari kita simak mengapa saya memilih pohon (saya juga heran lho?, jadi penasaran nih?);
Saat masih biji, si calon pohon dirawat sedemikian rupa, dibuatkan lubang tanam dengan kualitas tanah nomer satu (100% humus plus label halal dari MUT, Majelis Ulama Tanah). Kemudian biji disiram dengan teratur, tidak boleh terkena matahari secara langsung (mengapa? karena matahari mengandung UV-A dan UV-B, tanya BCL lo ngga percaya!). Sampai akhirnya terlihat daun mungil menyeruak keluar dari dalam tanah, Blhaaar!!(wah ngga cocok blass niy efek backsoud-nya).
Masih dengan perawatan ekstra joss (ekstra banget maksudnya) si tunas dirawat induk semangnya (yang punya pohon) hingga tumbuh lumayan tinggi (sampai yang mau manjat mikir-mikir dulu soalnya kalo jatuh pasti langsung UGD, amputasi kuku!). Hingga akhirnya saat pohon itu dapat berbuah sekali, dua kali, tiga kali, perawatanpun mulai tak se-ekstra joss dulu, bahkan malah sama sekali tak dirawat (oh sungguh teganya dirimu...)
Itu tadi cerita tentang proses tumbuhnya pohon, Sampai Jumpa lagi di lain kesempatan.
“Lho-lho! Sebentar-sebentar, lha terus hubungannya sama kehidupan OPO?, niat nulis nggak! tak tanem lho!”
Lha ya ini, nggak sabaran sih. Jadi begini...Saat mulai mengawali epidsode hidup, kita sangat disayang sama tetangga eh.. orang tua kita hingga kita bersekolah, dan hingga lulus perguruan tinggi negeri (kalo yang swasta ya swasta, yang universitas terbuka ya berarti ngga tertutup). Hampir seluruh kebutuhan kita dari lipstik, bedak, eye shadow semuanya dipenuhi orang tua (walah ngasih contoh kok ya lipstik, yang lebih keren gitu lho, LipGloss ma kutek kan lebih garang..)
Saat masa mengharuskan kita menjadi dewasa memperoleh nafkah sendiri, mengurus kebutuhan kita sendiri, orang tua mulai melepas kita sedikit demi sedikit karena akar kita telah tumbuh menghujam ke dalam tanah untuk mencari sumber kehidupan (air) hingga tak perlu lagi menunggu orang lain menyiramkan air pada kita.
Dan saat kita mulai berhasil berdiri kokoh layaknya pohon cabai alah..pohon.....?? yang kokoh tu pohon apa? Depannya “J” mmm..Juwet!, atau Jambu! Oh iya yang bener Jahe!....
“ JATI culuun, sok amnesia segala!” Nah itu, kokoh layaknya pohon Jati dan dapat memberi (BUAH) manfaat kepada orang lain layaknya pohon kamboja, (mmm ngarang lagi) layaknya pohon yang dapat berbuah (mangga, rambutan durian, semangka) saat itu lah kita berada pada proses puncak kehidupan kita, dapat memberi manfaaat kepada sebanyak makhluk atas proses hidup yang kita jalani.
Orang tua merawat kita saat tunas hingga berdiri tegak, dan saat kita dapat menopang diri kita sendiri, giliran kita lah yang memberi manfaat tidak hanya kepada orang-orang yang merawat kita namun lebih dari itu kepada sebanyak-banyak makhluk Tuhan, dapat menyejukkan mereka dengan daun-daun kita dan menjadi penyeimbang hidup mereka (dari bahaya pemanasan global).
Like ussual, sebelum episode kehidupan berakhir masih ada kesempatan memperbaiki proses kehidupan yang mungkin salah dalam mengolah, terlalu manis, terlalu pahit, terlalu banyak wijennya atau mungkin terlalu gosong, kita dapat memperbaikinya dengan terus berproses menjadi lebih baik. Belajar dari pengalaman dan terus menyalakan kesadaran dengan terus berdekatan pada Yang memiliki kita, semoga lampu kehidupan kita tak akan pernah akan padam seperti lampu Ultraman, dan saat alarm berbunyi “Ting Tong Ting Tong.....!” mulai lah merenung dan introspeksi diri, Yup “We Can Race This Episode!”
, Salam ^_^
RALAT: (maklum fresh user belum paham ngedit-ngeditnya)
BalasHapus"like ussual" harusnya "like usually"
gini deh kalo lahirnya di amrik besarnya di kali, hagz...