Jumat, 11 Desember 2009

(belum) Layak Menyanyangi (belum) Layak Dicintai

Tingkat kepekaan (sensitifitas) manusia dinilai dari bagaimana ia memberikan reaksi atas apa yang terjadi di lingkungan sekitar. Saat seekor lebah datang dan bernafsu menyerang manusia, manusia otomatis mengambil reaksi dengan lari menyelamatkan diri, atau mungkin mengambil bazoka sebagai alat pertahanan diri untuk sekedar menakuti si lebah yang sedang kesurupan. Kalaupun sedang apes, dan si lebah pun berhasil menembus pertahanan yang sudah kita siapkan (mulai dari kawat berduri dengan tegangan listrik, sensor infra merah, sampai mungkin uang segepok untuk kompromi), bagian tubuh yang tersengat akan memberikan efek yang langsung bisa dirasakan sakitnya. Keberadaan tingkat kepekaan manusia lalu mendorong untuk segera memberikan pertolongan pertama pada daerah yang tertembus sengat lebah (telepon nain wan wan, pesen satu kamar di UGD rumah sakit paling terkenal atau cuma nge-bon ke warung sebelah beli *****plast).

Cerita lebah menyerang manusia merupakan salah satu gambaran peran kepekaan yang dikaruniakan tuhan pada tubuh kita yang berhubungan dengan sesuatu yang wujud.

Wujud?, apa maksudnya tuh ?” maksudnya seperti kulit yang terluka akibat serangan lebah berhubungan dengan kepekaan kulit, dan bisa jelas untuk dilihat daerah kulit yang terluka, bisa diraba bisa diterawang juga pake sinar ek (maap ga bisa bilang-X). “Trus-trus yang ngga wujud tuh yang gimana dunk!” Ehem-ehem...yang ngga wujud tuw seperti kepekaan hati dalam merespon perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perasaan dan emosi (mulai serius niy).

“Lalu...” Kalau sudah berhubungan dengan hati biasanya dan kebanyakan akan berhubungan juga dengan sesuatu yang disayangi atau dicintai, entah itu antar sesama manusia, makhluk hidup yang lain (hewan, tumbuhan, jin, alien), sampai pada benda (mobil, rumah, pesawat, helikopter, jepit rambut). “Lalu yang mau diceritain yang mana?semuanya? Satu aja yah ntar lo semuanya gak ada bahan nulis lagi lho besok?”

Karena pengalaman saya lebih banyak berhubungan dengan sesama manusia jadi pembahasannya juga mengenai kepekaan hati kepada manusia aja. Banyak hal hal ajaib yang terjadi dalam kehidupan kita dari peristiwa pergantian pagi ke malam, terjadinya hujan, dari hujan salju sampai hujan batu (yang terakhir ini biasanya terjadi di gedung DPR lo ngga ya di lapangan bola). Salah satu yang ajaib dan hampir semua orang “kena batunya” adalah merasa ada yang salah dengan hati kita, dan efeknya bereaksi pada hampir seluruh tubuh kita; tiba-tiba jantung berdegup kencang, seluruh badan berkeringat, kaki menjadi sulit dilangkahkan, mata berkunang-kunang, dompet berkurang dengan cepat, tidur jadi tidak nyenyak, sering melamun, prestasi menurun (dari yang biasanya dapet A+ sekarang dapet Z-), dan masih banyak lagi....dan itulah yang namanya kepekaan hati yang terkadang saya sendiri bingung, heran, shock, penasaran, berasal dari manakah datangnya rasa itu?

Hmm kita umpamakan rasa itu namanya perasaan sayang atau cinta juga bisa (disamakan sama judulnya kale...) yang kita ungkapkan kepada sesorang yang bila kita melihat, bertemu atau berdekatan dengannya maka gejala-gejala yang saya contohkan sebelumnya muncul tanpa aba-aba. Kepekaan hati mendorong kita untuk menyayangi sesorang dan selanjutnya ingin diperlakukan sama bahkan lebih oleh orang yang kita sayangi (bahasa bulenya take and give geto).

Kala saya terhanyut, terharu biru, tersepona alah terpesona sebagai reaksi atas kepekaan hati itu, saya pun menjadi lupita, palupi, forget, (lupa,red.) atas sesuatu yang yang essensial atas perasaan sayang / cinta itu, yakni kapan dan siapa yang seharusnya saya sayangi (terlebih dahulu). Akan mengherankan jika saya mengaku menyayangi orang lain padahal terhadap diri sendiri saya tak pernah perduli (jarang mandi, jarang makan yang bergizi, jarang olahraga pagi, bahkan jarang khusyu menghamba pada Nya *wah sayang belakangnya ngga diakhiri huruf “i”). Akan menjadi diragukan kesungguhan saya dalam menyayangi orang lain kala tak ada kemauan dari diri sendiri untuk merubah diri menjadi lebih baik sebagai bentuk rasa sayang terhadap diri saya sendiri.

Awal dari kepekaan hati dan perasaan yang dianugerahkanNya harus menjadikan kita sadar untuk menghargai diri sendiri, untuk menyayangi segala apa yang kita miliki dalam mematangkan diri dalam wujud (penampilan) maupun yang tak berwujud (emosional), jika semuanya telah kita maksimalkan lalu munculkan pertanyaan sudah pantas kah diri ini menyayangi dan dicintai......

Senin, 07 Desember 2009

Memohon untuk menjadi pohon...

Teori evolusi Darwin memperlihatkan proses perubahan bentuk manusia dari bentuk kera menjadi manusia (purba) dengan kecerdasan yang meningkat pula. Tanpa ingin mengulas tentang perdebatan teori tersebut (soalnya sempet ketiduran waktu dapat pelajaran evolusi, paling-paling juga ngga jauh beda sama filmnya Planet of the Ape's), hal yang lebih fundamental (keluar deh bahasa Ppkn, kita liat bahasa apa lagi nanti yang keluar..?) adalah proses menuju kesempurnaan itu.

Di dunia yang kita injak dari tanpa alas kaki, sandal jepit murah merk Sualo (merk bajakannya Swalow), sampai mengenal yang namanya Sepatu Sport Niki Nike Lho (yang ini parah bajakannya, maksa banget!) semuanya serba proses. Awal lahir kita mengenal orang tua dengan proses, bisa manggil “ma ma!” juga proses, pokoknya apa yang ada dalam diri kita saat ini semuanya adalah proses dan masih akan berjalan sampai tak terbatas (karena saat kita The End pun masih ada proses meski di kehidupan yang berbeda, loh!)

Berbicara tentang proses, saya pun merenung (hal yang biasa saya lakukan saat suasana mendung, sepi, sunyi, sendiri, cuma ditemani radio RRI)............ (loading..., masih merenung.....). Pertanyaan pun muncul,”apakah proses kehidupan saya sampai hari ini, merupakan proses dari ketidaktahuan saya terhadap sesuatu menjadi saya lebih paham mengenai banyak hal dan menjadikan saya lebih baik, atau apakah pengalaman-pengalaman saya selama ini malah menjadikan saya pendosa???”

Saya lalu mengumpamakan kehidupan ideal itu seperti Pohon yang ditanam di pekarangan (“Tree” in english, “Uwit” ing jawi, “Ohon” waktu kita belajar ngomong). Kenapa pohon? Mari kita simak mengapa saya memilih pohon (saya juga heran lho?, jadi penasaran nih?);

Saat masih biji, si calon pohon dirawat sedemikian rupa, dibuatkan lubang tanam dengan kualitas tanah nomer satu (100% humus plus label halal dari MUT, Majelis Ulama Tanah). Kemudian biji disiram dengan teratur, tidak boleh terkena matahari secara langsung (mengapa? karena matahari mengandung UV-A dan UV-B, tanya BCL lo ngga percaya!). Sampai akhirnya terlihat daun mungil menyeruak keluar dari dalam tanah, Blhaaar!!(wah ngga cocok blass niy efek backsoud-nya).

Masih dengan perawatan ekstra joss (ekstra banget maksudnya) si tunas dirawat induk semangnya (yang punya pohon) hingga tumbuh lumayan tinggi (sampai yang mau manjat mikir-mikir dulu soalnya kalo jatuh pasti langsung UGD, amputasi kuku!). Hingga akhirnya saat pohon itu dapat berbuah sekali, dua kali, tiga kali, perawatanpun mulai tak se-ekstra joss dulu, bahkan malah sama sekali tak dirawat (oh sungguh teganya dirimu...)

Itu tadi cerita tentang proses tumbuhnya pohon, Sampai Jumpa lagi di lain kesempatan.

Lho-lho! Sebentar-sebentar, lha terus hubungannya sama kehidupan OPO?, niat nulis nggak! tak tanem lho!”

Lha ya ini, nggak sabaran sih. Jadi begini...Saat mulai mengawali epidsode hidup, kita sangat disayang sama tetangga eh.. orang tua kita hingga kita bersekolah, dan hingga lulus perguruan tinggi negeri (kalo yang swasta ya swasta, yang universitas terbuka ya berarti ngga tertutup). Hampir seluruh kebutuhan kita dari lipstik, bedak, eye shadow semuanya dipenuhi orang tua (walah ngasih contoh kok ya lipstik, yang lebih keren gitu lho, LipGloss ma kutek kan lebih garang..)

Saat masa mengharuskan kita menjadi dewasa memperoleh nafkah sendiri, mengurus kebutuhan kita sendiri, orang tua mulai melepas kita sedikit demi sedikit karena akar kita telah tumbuh menghujam ke dalam tanah untuk mencari sumber kehidupan (air) hingga tak perlu lagi menunggu orang lain menyiramkan air pada kita.

Dan saat kita mulai berhasil berdiri kokoh layaknya pohon cabai alah..pohon.....?? yang kokoh tu pohon apa? Depannya “J” mmm..Juwet!, atau Jambu! Oh iya yang bener Jahe!....

JATI culuun, sok amnesia segala!” Nah itu, kokoh layaknya pohon Jati dan dapat memberi (BUAH) manfaat kepada orang lain layaknya pohon kamboja, (mmm ngarang lagi) layaknya pohon yang dapat berbuah (mangga, rambutan durian, semangka) saat itu lah kita berada pada proses puncak kehidupan kita, dapat memberi manfaaat kepada sebanyak makhluk atas proses hidup yang kita jalani.


Orang tua merawat kita saat tunas hingga berdiri tegak, dan saat kita dapat menopang diri kita sendiri, giliran kita lah yang memberi manfaat tidak hanya kepada orang-orang yang merawat kita namun lebih dari itu kepada sebanyak-banyak makhluk Tuhan, dapat menyejukkan mereka dengan daun-daun kita dan menjadi penyeimbang hidup mereka (dari bahaya pemanasan global).


Like ussual, sebelum episode kehidupan berakhir masih ada kesempatan memperbaiki proses kehidupan yang mungkin salah dalam mengolah, terlalu manis, terlalu pahit, terlalu banyak wijennya atau mungkin terlalu gosong, kita dapat memperbaikinya dengan terus berproses menjadi lebih baik. Belajar dari pengalaman dan terus menyalakan kesadaran dengan terus berdekatan pada Yang memiliki kita, semoga lampu kehidupan kita tak akan pernah akan padam seperti lampu Ultraman, dan saat alarm berbunyi “Ting Tong Ting Tong.....!” mulai lah merenung dan introspeksi diri, Yup “We Can Race This Episode!”

, Salam ^_^

Bee Say - Bee See Introductory

Berawal dari pertanyaan “Mengapa banyak temen-temen pada bikin blog?” dan inilah salah satu cara saya mencari jawaban itu, create my own blog!

Di dunia yang bulat pipih ini dengan penghuni yang buanyak banget pasti punya episode hidup masing-masing yang bisa dikisahkan. Kisah-kisah yang layak untuk referensi kita dalam mengolah pola pikir, tindakan, atau dalam memperbaiki jalan hidup yang mungkin masih samar. Saking kompleksnya kisah kehidupan sampai sampai muncul reality show yang bisa bikin termehek mehek. Tidak hanya manusia, hewan pun ternyata juga memiliki masalah mereka sendiri (kebanyakan anak siy, ditinggal pula sama suaminya),. Jadi..tidak ada yang tak bisa dikisahkan dalam hidup ini dan berarti tidak ada alasan untuk tidak menulis, tidak ada alasan untuk tidak membuat blog.

Bee, Jogja and DKV tiga elemen hidup saya yang sama bermaknanya dengan elemen yang dimiliki Avatar, memiliki perannya masing-masing dalam keseimbangan hidup saya. Sampai usia yang kesekian ini banyak pengalaman tentang hidup, tentang indahnya Jogja, maupun tentang apa yang sedang melekat pada status saya kini, mahasiswa DKV (Desain Komunikasi Visual) dengan banyak hal yang bisa diceritakan.

Bee, merupakan hamba Tuhan yang masih terjebak dalam dunianya sendiri, yang secara sadar banyak hal yang Ia benci namun masih saja dijalani meski bertentangan dengan nurani. Untungnya Ia ditakdirkan menjadi manusia baik-baik, sehingga tak ada hari yang terlewat tanpa mengingat DIA yang Maha Hebat, keep push me into the heaven God!. Sama halnya dengan yang lain, Ia memiliki amunisi hasil dari rampasan berbagai pengalaman hidup yang mungkin bisa berguna untuk mempersenjatai diri menghadapi perang kehidupan yang belum berakhir.

Jogja, salah satu kota terindah di dunia yang tak banyak orang mengenalnya dalam. Lima tahun waktu yang telah dilalui di Jogja semoga membangkitkan gairah menelusuri eloknya kota Gudeg ini, monggo....!

DKV, program studi ke dua dalam sejarah hidup yang berusaha saya buktikan bahwa ini adalah pilihan tepat dan salah satu takdir yang tercantum dalam riwayat hidup saya.Amin.

Finally, Have a nice trip on this page!


“Awal dari keseimbangan hidup adalah membaca, sama halnya saat akan mengawali hari selalu dimulai dengan membaca (doa) dan awal dari membaca pastilah menulis, so create words to run this life honestly!.” Bee-09

Sabtu, 05 Desember 2009

Lenka in troble

Lenka bilang masalah itu adalah teman. Menurut saya yang dinamakan teman ialah sesuatu/ seseorang yang dapat membuat kita tidak sekedar bahagia namun juga tenang, hal yang terkadang langka untuk kita rasakan. Kita juga merasakan nyaman saat berada dekat ataupun jauh dengan yang namanya teman.

Lalu apakah tepat yang ada di lagunya Lenka tuh, kalo masalah adalah teman? Apakah kita nyaman dan bahagia kala masalah mampir di kehidupan kita?

Hmm.. sebuah kata bijak berujar bahwa masalah akan mendewasakan kita, benar tuh! Asal segenap kekuatan pikir dan perasaan kita mampu mengolah kesulitan itu menjadi pengalaman berkesan membangun kedewasaan itu. Sebaliknya .. saat kita larut pada masalah dan membuatnya lebih dramatis maka alhasil seluruh emosi ingin kita luapkan dengan berbagai cara yang terkadang memberi kesan kekanakan.

Emosi harus terkendali. Berdasar pengalaman ada beberapa cara lebih baik meluapkan emosi itu , sejenak!. Salah satunya yakni :santap malam dengan menu yang paling kita inginkan dengan suasana yang memungkinkan kita melupakan masalah kita (biasanya suasana malam). Bayangkan saja apa yang kita santap adalah masalah kita yang segera kita lumat habis tak bersisa di mulut kita, pencernaan kita, sari (Hikmah) nya telah terserap menjadi nutrisi (Ilmu baru ) dan sisanya akhirnya terbuang dan lupakan.

Jadi selalu berpikir positif terhadap masalah adalah hal yang terbaik, karena masalah itu teman yang membuat kita senantiasa lebih dewasa, asalkan jangan mencari – cari masalah kan ?